Benda Peninggalan Sejarah di Situs Megalitikum, Pekauman
Para peneliti sejarah sepakat bahwa Kabupaten Bondowoso diperkirakan tergolong dalam era tradisi megalitik muda, yang berlangsung sangat lama hingga sekitar abad XIV masehi. HR Van Hakeren, dalam bukunya The Stone Age of Indonesia (1972), bahkan menentukan bahwa Dolmen Bondowoso berlangsung antara awal tarikh masehi sekitar 2500-2000 Sebelum Masehi.
Gambaran tentang waktu ini terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Kecamatan Grujugan, yang berlokasi sekitar 5 km di sebelah selatan kota Bondowoso. Dari asal katanya, Breton (di Inggris Utara), ”Dol” berarti ”meja” dan ”Men” adalah ”batu”. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Bentuk pemukiman di pakauman, dapat dikatakan berbentuk kecil (semacam pedukuhan). Permukiman tersebut dibangun dekat sungai Sampeyan yang mengalir dilembah antara pegunungan Hiyang disebelah barat, dan dataran tinggi Ijen disebelah timur. Sungai Sampeyan bermuara di selat Madura. Survei permukaan tanah di situs Pakauman,desa Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, menghasilkan peta sebaran megalithikum. Berdasarkan jenis dan fungsinya dapat di kelompokkan menjadi
Arca Batu Kenong
Batu kenong merupakan istilah penduduk setempat, bentuknya silindrik dengan tonjolan di puncaknya.
Keberadaan batu kenong di Pakauman selalu berkelompok, kelompok yang terkecil berjumlah 3 buah batu kenong,dan kelompok terbesar terdiri 20 buah batu kenong. Dalam situs ditemukan 26 kelompok batu kenong. Salah satu kelompok batu kenong di Pakauman telah digali oleh Willems pada tahun 1938. Kelompok batu kenong di Pakauman sejak penelitian tersebut sampai sekarang belum di ketahui fungsinya. Batu kenong sebagai umpak, merupakan unsur bangunan bagian bawah atau pondasi. Bahan bangunan lainnya (bagian atas) berupa kayu atau bambu dan atapnya dari daun-daun atau jenis rumput-rumputan, yang tidak tahan lama sehingga tidak ditemukan sisa-sisanya.
Sarkofagus Sarkofagus adalah keranda batu a
tau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam. Selain sarkofagus juga ada yang disebut dengan kubur batu atau dolmen. Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Sarana penguburan dan sering disebut sebagai dolmen semu (karena tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan) ditemukan secara terpisah atau berkonteks dengan benda megalitik lainnya.
Berbeda dengan dolmen atau “pandhusa”, sarkofagus adalah tempat kubur, terdiri wadah dan tutup, bentuk dan ukurannya sama (simetris). Dinding muka sarkofagus kadang-kadang dihias dengan ukiran bermotif binatang berkaki empat, burung dan bentuk manusia. Balai Arkeologi Yogyakarta dalam penelitiannya tahun 1985 menemukan 71 dolmen dan 21 buah sarkofagus. Kedua jenis bangunan megalitik ini ditemukan dalam satu situs dan berfungsi sebagai wadah kubur.
Tinggalan megalitik jenis dolmen,oleh penduduk setempat disebut “pandhusa” atau “makam cina”. Dolmen adalah jenis batu kubur yang biasanya mengarah timur-barat, terdiri atas lantai dari papan batu, beberapa batu tegak sebagai dinding dan ditutup oleh sebuah batu besar.
Dibagian timur kadang-kadang juga dibagian barat terdapat semacam pintu masuk. Penelitian terhadap dolmen telah banyak dilakukan, antara lain oleh Steinmetz (1898),Hubenet (1903),B.de Haan (1921),dan Willems (1940). Ekskavasi Willems tahun 1940 membuktikan bahwa dolmen benar-benar berfungsi sebagai kuburan. Dalam kubur terdapat tulang-tulang manusia, sisa bekal kubur seperti pecahan periuk, sebuah pecahan keramik cina (dari abad 9) dan pahat besi. Dolmen lainnya yang pernah digali oleh de Haan menghasilkan temuan gigi manusia, manik-manik sebanyak 79 buah dalam berbagai ukuran dan terbuat dari batu, dan kaca.
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Arca menhir ditemukan satu buah tergeletek dibawah pematang di dekat lokasi penggalian Willems dan dapat diduga erat hubungannya dengan pemujaan leluhur.arca ini berukuran tinggi 160 cm.berbentuk kepala besar, massif, tanpa pahatan wajah. Pahatan kaki tidak ada, bentuk bagian bawah meruncing untuk menancapkan ke dalam tanah.
Menhir atau batu tegak adalah sebuah batu panjang yang didirikan tegak sebagai batu peringatan dalam hubungannya engan pemujaan arwah leluhur.
Perlawanan di berbagai wilayah indonesia
Bentuk – bentuk perlawanan rakyat Indonesia :
A. Perlawanan sebelum tahun 1800
Ditandai dengan perang/perlawanan langsung terhadap kekuasaan bangsa barat, dan juga ditandai dengan persaingan antara kerajaan – kerajaan Nusantara dalam memperebutkan hegemoni di kawasan tersebut.
Dalam persaingan tersebut kerajaan – kerajaan di Nusantara sering melibatkan bangsa barat untuk membantu mengalahkan pesaingnya. Kondisi inilah yang menyebabkan kegagalan dalam mengusir bangsa – bangsa barat dari nusantara
1. Perlawanan Rakyat Maluku
Upaya rakyat Ternate yang dipimpin Sultan Hairun maupun Sultan Baabulah(1575), sejak kedatangan bangsa Portugis pada 1512 tidak berhasil, penyebabnya adalah tidak ada kerja sama antara kerajaan Ternate, Tidore, dan Nuku. Kekuatan Portugis hanya dapat diusir oleh kekuatan bangsa Belanda yang lebih kuat.
(Sultan Hairun) (Sultan Baabullah)
2. Perlawanan Rakyat Demak
Perlawanan ini dipimpin oleh Adipati Unus terhadap Portugis di Malaka. Serangan pasukan Adipati Unus dilakukan dua kali (1512 & 1513) mengalami kegagalan. Pada saat yang sama, penguasa kerajaan Pajajaran melakukan kerja sama dengan Portugis, setelah mendapat ancaman dari kekuatan Islam di pesisir utara pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten.
(Adipati Unus)
3. Pelawanan Rakyat Mataram
Sultan Agung yang memiliki cita – cita mempersatukan pulau Jawa, berusaha mengalahkan VOC di Batavia. Penyerangan yang dilakukan pada 1628 & 1629 mengalami kegagalan, karena selain persiapan pasukannya yang belum matang, juga tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan lainnya.
(Sultan Agung)
4. Perlawanan Rakyat Banten
Pada tahun 1651 Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta sebagai Raja Banten ke-6. Ia seorang raja yang berani tegas melawan intervensi VOC ke dalam kekuasaannya. Pada masa kekuasaannya terjadi perang tiga kali melawan VOC. Sikap licik diterapkan pula di Banten. VOC mengadudombakan ayah dengan puteranya, yaitu Sultan Haji (Pangeran Abdul Kahar). Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, tetapi Sultan Haji yang berharap menguasai Banten sepenuhnya, ternyata tidak kesampaian. Ia harus mengakui kekuasaan VOC, yang berarti Banten menjadi negara yang tidak berdaulat penuh sejak tahun 1683.
(Sultan Ageng Tirtayasa)
5. Perlawanan Rakyat Makasar
Konflik antara Sultan Hasanuddin dari Makasar dan Arupalaka dari Bone, memberi jalan bagi Belanda untuk menguasai kerajaan – kerajaan Sulawesi tersebut. Untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa, sehingga jalur perdagangan Nusantara bagian timur dapat dikuasai. Hal ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasnuddin dengan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanuddin. Lalu Belanda meminta bantuan Arupalaka yang menyebabkan Makasar jatuh ke tangan Belanda, dan Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian Bongaya pada 1667, yang berisi :
a. Sultan Hasanuddin harus memberikan kebebasan kepada VOC berdagang di Makasar dan Maluku.
b. VOC memegang monopoli perdagangan di Indonesia bagian timur, dengan pusat Makasar.
c. Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki Sultan Hasanuddin dikembalikan kepada Arupalaka, dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
(Sultan Hasanuddin)
6. Pemberontakan Untung Surapati (1686 – 1706)
Untung Surapati bersekutu dengan Sunan Amangkurat II untuk melawan VOC. Untuk meredam pemberontakan Untung Surapati, VOC mengutus Kapten Tack ke Mataram, namun gagal. Sunan Amangkurat II berterima kasih kepada Untung Surapati dengan memberikan daerah Pasuruan dan menetapkannya menjadi Bupati di sana dengan gelar Adipati Wiranegara. Pada 1803 Sunan Amangkurat II meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat III, pamannya yang bernama Pangeran Puger menginginkan tahta raja di Mataram. Dia kemudian bersekutu dengan VOC, dan kemudian membuat perjanjian dengan VOC, dengan menyerahkan sebagian wilayah kekuasaan Mataram. Pada 1705 Pangeran Puger dinobatkan menjadi Sunan Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana I, setelah itu dimulailah peperangan antara Sunan Pakubuwana I dengan Untung Surapati yang dibantu Sunan Amangkurat III. Pada 1706, VOC berhasil melumpuhkan Untung Surapati di Kartasura.
(Sunan Amangkurat II) (Untung Surapati)
B. Perlawanan sesudah tahun 1800
Tidak banyak perbedaan dengan perlawanan sebelum tahun 1800, yang hanya dilakukan secara kedaerahan dan sedikit ditandai dengan persaingan memperebutkan hegemoni antara kerajaan – kerajaan tersebut.
Bentuk – bentuk perlawanan rakyat Indonesia :
1. Perlawanan sultan Nuku (Tidore)
Sultan Nuku adalah raja dari Kesultanan Tidore yang berhasil meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 pasukan untuk menghadapi Belanda. Selain itu dia juga menjalankan perjuangan melalui diplomasi. Untuk menghadapi Belanda , dia mengadakan hubungan dengan Inggris untuk meminta bantuan dan dukungan. Dia mengadu domba antara Inggris – Belanda. Pada 20 Juni 1801 dia berhasil membebaskan kota Soa – Siu dari Belanda, akhirnya Maluku Utara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Sultan Nuku.
2. Pelawanan Pattimura (1817)
Dimulai dengan penyerangan terhadap benteng Duurstede di Saparua, dan berhasil merebut benteng tersebut dari tangan Belanda. Perlawanan ini meluas ke Ambon, Seram, dan tempat – tempat lainnya. Untuk menghadapi serangan tersebut, Belanda harus mengerahkan seluruh kekuatannya yang berada di Maluku. Akhirnya Pattimura berhasil ditangkap dalam suatu pertempuran dan pada 16 Desember 1817, dia dan kawan – kawannya dihukum mati di tiang gantungan. Perlawanan lainnya dilakukan oleh pahlawan wanita, Martha Christina Tiahahu.
(Pattimura)
3. Perang Paderi (1821 – 1837)
Dilatar belakangi konflik antara kaum agama dan tokoh – tokoh adat Sumatera Barat. Kaum agama (Pembaru/Paderi) berusaha untuk mengajarkan Islam kepada warga sambil menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. kaum adat yang tidak ingin kehilangan kedudukannya, serta adat istiadatnya menentang ajaran kaum Paderi, perbedaan pandangan ini menyebabkan perang saudara serta mengundang kekuatan Inggris dan Belanda. Kaum adat yang terdesak saat perang kemudian meminta bantuan kepada Inggris yang sejak 1795 telah menguasai Padang. Golongan agama pada saat itu telah menguasai daerah pedalaman Sumatra Barat. Pada tahun 1819, Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari Inggris. Golongan adat meminta bantuan kepada Belanda dalam menghadapi golongan Paderi. Pada Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai perjanjian tersebut Belanda mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerang kaum Paderi. Pertempuran pertama terjadi pada April 1821 belanda gagal merebut pertahanan Paderi di Lintau, Sawah Lunto dan Kapau, Bukittinggi. Untuk mensiasati hal ini, belanda mengajak berunding Tuanku Imam Bonjol (pemimpin Paderi) pada 1824, namun perjanjian dilanggar oleh Belanda.
Pada 25 Oktober 1833, Belanda melakukan Maklumat Plakat Panjang, yang berisi ajakan kepada penduduk Sumatra Barat untuk berdamai dan menghentikan perang. Namun pada Juni 1834, Belanda kembali menyerang kaum Paderi. Pada 16 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol jatuh ke tangan Belanda, dan berhasil meloloskan diri. Pada 25 Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol berunding di Palupuh. Namun Belanda berhianat dengan menangkap dan membuangnya ke Cianjur, Ambon, dan terakhir kota dekat Manado. Dia wafat pada usia 92 tahun dan dimakamkan di Tomohon, Sulawesi Utara.
(Tuanku Imam Bonjol)
4. Perang Diponegoro (1825 – 1830)
Penyebab perang ini adalah rasa tidak puas masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di kesultanan Yogyakarta. Di mata Belanda, Diponegoro adalah orang yang berbahaya. Suatu ketika, Belanda akan membuat jalan Yogyakarta – Magelang. Jalan tersebut menembus makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Dia marah dan mengganti patok penanda jalan dengan tombak. Belanda menjawab dengan mengirim pasukan ke Tegalrejo pada 25 Juni 1825. Diponegoro dan pasukannya membangun pertahanan di Selarong. Dia mendapat berbagai dukungan dari daerah – daerah. Oleh karena itu Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Utara yang dipimpin Jendral Marcus de Kock. Sampai 1826, Diponegoro memperoleh kemenangan. Untuk melawannya, Belanda melakukan taktik benteng Stelsel. Sejak 1826, kekuatannya berkurang karena banyak pengikutnya yang ditangkap dan gugur dalam pertempuran. Jendral De Kock memerintahkan Kolonel Cleerens untuk mencari kontak dengan Diponegoro. Pada 28 Maret 1830, dilangsungkan perundingan antara Jendral De Kock dengan Diponegoro di kantor karesidenan Kedu, Magelang. Namun Belanda berhianat, Diponegoro dan pengikutnya ditangkap, dia dibuang ke Manado dan Makasar. Dengan demikian, berakhirlah perang Diponegoro.
5. Perang Aceh
Aceh dihormati oleh Inggris dan Belanda melalui Traktat London pada 1824, kedudukan Aceh yang Strategis di Selat Malaka dan menjadi incaran bangsa barat. Untuk mengantisipasi hal itu, Belanda dan Inggris menandatangani Traktat Sumatra pada 1871. Melihat ini, Aceh mencari bantuan ke Turki, kedutaan Italia, dan Amerika di Singapura. Karena aceh meminta bantuan Belanda mengirim pasukannya ke Kutaraja. Penyerangan tersebut gagal dan Jendral J.H.R Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh. Serangan ke – 2 dilakukan pada Desember 1873 Belanda menyerang lagi di bawah pimpinan Mayor Jendral Van Suiten, merebut Mesjid Raya dan istana. Sultan Mahmudsyah menyingkir ke Luengbata. Pada 1891, Aceh kehilangan Teuku Cik Ditiro, lalu pada 1893, Teuku Umar menyerah kepada Belanda, namun pada Maret 1896, ia kabur dan bergabung dengan para pejuang dengan membawa sejumlah uang dan senjata. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas di Meulaboh. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Dhien. pada 1 Januari 1903, Sultan Daudsyah menyerah. Demikian pula Panglima Polim pada September 1903. Pada 1905, Cut Nyak Dhien tertangkap di hutan, Cut Meutia gugur pada 1910. Baru pada 1912, perang Aceh benar – benar berakhir.
(Sultan Mahmudsyah) (Teuku Cik Ditiro) (Teuku Umar) (Cut Nyak Dien)
(Cut Meutia) (Panglima Polim) (Sultan Daudsyah)
6. Perang Bali
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng dan terkena hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai kapal dan isinya. Pada 1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal. Serangan ke – 2 pada 1849, di bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van Swieeten berhasil merbut benteng kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini diberi nama Puputan Jagaraga. Setelah Buleleng ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan – kerajaan Bali dengan Belanda untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan. Diantaranya Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).
(I Gusti Ketut Jelantik)
7. Perang Banjarmasin
Sultan Adam menyatakan secara resmi hubungan kerajaan Banjarmasin – Belanda pada 1826 sampai beliau meninggal pada tahun 1857. sepeninggal Sultan Adam, terjadi perebutan kekuasaan oleh 3 kelompok :
▪ Kelompok Pangeran Tamjid Illah, cucu Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Anom, Putra Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Hidayatullah, cucu Sultan Adam.
Di tengah kekacauan tersebut, terjadi perang Banjarmasin pada 1859 yang dipimpin Pangeran Antasari, seorang putra Sultan Muhammad yang anti Belanda. Dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayatullah. Pada 1862, Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dalam pertempuran dengan Belanda pada tahun tersebut, Pangeran Antasari tewas.
(Pangeran Antasari) (Pangeran Hidayatullah)
Komentar
Posting Komentar